Inferiority Complex adalah sebuah kondisi psikologis (tingkat alam bawah sadar), ketika suatu pihak merasa inferior/lemah/lebih rendah dibanding pihak lain, atau ketika ia merasa tidak mencukupi suatu standar dalam sebuah sistem. Kondisi kejiwaan ini biasanya berujung kepada kompensasi atau pemujaan yang berlebihan pada suatu pencapaian atau tendensi untuk mencari pengakuan atau apresiasi dari suatu pihak.
Nah, pola pikir ini seolah olah sudah terpatri sangat kuat pada pikiran masyarakat Indonesia. Inferiority Complex ini membuat orang Indonesia menjadi lebih ke arah bangga yang berlebihan (over proud) yang seringkali mudah atau cepat bangga dan parahnya menuju ke arah fanatik.
Tadi siang, saya membaca artikel tentang bule Australia bernama Nick Molodysky yang berjualan asinan dan rujak di Sydney. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Nick mencintai masakan-masakan Indonesia. Penjelasan lebih lengkap sila baca langsung di Line Today atau searching di google aja yah, beritanya lumayan banyak bertebaran.
Melihat berita tersebut, terdapat beberapa komentar netizen yang bersorak sangat bangga. Apalagi ditambah cerita bahwa teman-teman kantor Nick yang “bule” menyukai asinan dan rujak yang dibagi-bagikan oleh Nick — yang secara tidak langsung cerita tersebut memperjelas “kita” sebagai orang Indonesia sudah sepatutnya bangga dengan asinan dan rujak. Kenapa harus bangga? Ya jelas. Makanan khas Indonesia dipopulerkan dan dimakan bule gitu loh.
Padahal, di Indonesia sendiri berserakan rumah makan cepat saji asal Amerika. Orang Indonesia justru bangga makan ayam goreng tepung dengan kentang goreng, atau burger berlapis-lapis. Padahal di Amerika, makanan tersebut disebut junk food. Makanan sampah. Penuh kolesterol. Tidak sehat. Murah. Dan biasanya dikonsumsi oleh para supir truk karena sifatnya yang praktis dan cepat membuat kenyang. Apa Amerika bangga? Sampai dibuat beritanya seperi itu? Biasa saja.
Sebenarnya asinan dan rujak bukan satu-satunya fenomena yang membuat penduduk Indonesia cepat bangga. Pasti kalian nggak asing dengan selebritis keturunan Indonesia, atau atlet keturunan Indonesia, yang membuat heboh seantero negeri. Contohnya Radja Nainggolan. Seorang pemain sepak bola asal Belgia yang memperkuat kesebelasan AS Roma. Ayah Radja, Marianus Nainggolan, merupakan orang Indonesia yang berasal dari suku Batak. Sedangkan ibunya, Lizy Bogaerts, seorang Belgia tulen. Karena ditinggal ayahnya sejak anak-anak, Radja dibesarkan sebagai warga negara Belgia.
Namun apa yang terjadi ketika nama Radja Nainggolan muncul? Indonesia jadi heboh. Bangga terhadap Radja yang bermain sepak bola di level internasional. Bahkan ketika Radja mengunjungi Indonesia, segala macam sambutan digelar. Tumpengan. Potong kambing. Syukuran. Potong pita. Semua dilakukan. Jadwal Radja mendadak padat karena diundang ke berbagai acara bincang-bincang di televisi. Bangga nggak terperikan pokoknya. Lebih bangga dibanding berhasil menembus IPK 3.
Lalu apa Radja juga merasakan hal yang sama dengan kebanyakan warga Indonesia? Saya rasa belum tentu. Ayahnya yang orang Indonesia itu justru meninggalkannya dengan sang ibu.
Serupa tapi tak sama juga dialami Pierre Coffin. Sutradara dari dua film Despicable Me, dan Minions. Nama lengkapnya Pierre-Louis Padang Coffin. Lho ada ‘Padang’-nya? Ya betul! Ada darah Indonesia di dalam urat nadi Pierre Coffin. Sila bersorak WOOHOO. Tetapi sebenarnya Pierre adalah warga negara Perancis lho. Ya nggak apa-apa, yang penting ada Indonesianya.
Rasa bangga masyarakat Indonesia yang membuncah terhadap sutradara film-film lucu tersebut belum usai. Di dalam film Minions (2014), ada beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang terselip pada dialog antar-minion. Makhluk kuning lonjong lucu nan unyu itu beberapa kali menyebut kata “terima kasih” atau “masalah”. Media-media massa ketika itu penuh dengan kisah sutradara blasteran ini. Bangga bukan main Indonesia.
Padahal ibu Pierre Coffin, Nh. Dini, merupakan seorang novelis jempolan yang eksis berkarya sejak tahun 70-an dan beliau tidak begitu banyak disinggung. Melalui karyanya, Nh. Dini berhasil menyabet SEA Write Award di bidang sastra dari pemerintah Thailand. Melalui sederet karyanya yang sarat akan pandangan feminis, Nh. Dini sempat menyindir pemerintah Indonesia yang kurang menghargai jasanya di dalam bidang sastra. Padahal, menurut saya, Nh. Dini lebih patut untuk dibanggakan ketimbang “Papoy.. Papoy.. Banana.”
Ada lagi yang lebih lucu. Ketika film The Raid (2011) muncul dan mendapat respons baik dari masyarakat internasional, saya melihat komentar-komentar netizen Indonesia di Youtube yang memuat trailer film tersebut. Komentarnya beragam meskipun hampir semuanya menyerukan kebanggan terhadap Indonesia yang akhirnya mampu membuat film layak tonton. Komentar-komentar yang bernada over proud tersebut sempat membuat bule-bule bingung. Pertama, karena banyak komentar yang menggunakan bahasa Indonesia dan kedua, mereka bingung kenapa orang-orang ini bangga seperti kesetanan?
Bangga boleh. Jelas bangga. Siapa sih yang nggak bangga melihat aktor-aktris Indonesia berlaga di film yang ditonton oleh bule? Tapi yah nggak usah segitunya. Biasa saja. Nggak perlu lebay. Toh, orang-orang bule juga yang jutaan filmnya ditonton sama kita, biasa saja. Nggak ada tuh yang komentar “Ini film Amerika lohhh!! Keren kan?!” Dan satu lagi, Gareth Evans, sutradara The Raid, dia warga negara Wales lho. Huft.
Sebenarnya masih banyak hal yang membuat orang Indonesia cepat bangga. Dan hal tersebut kebanyakan nggak penting. Nggak perlu bangga dengan hal-hal kecil seperti itu kalau masih sombong menggunakan produk-produk luar negeri. Nasionalisme tingkat dewa kalau boleh saya sebut. Hal-hal yang seharusnya lebih layak untuk dibanggakan, justru malah dilupakan. Setelah diklaim oleh negara lain, baru ngamuk.
Tapi tunggu sebentar. Tunggu. Saya baru menyadari, warna bendera Indonesia, merah-putih ada di dalam bendera Amerika, Belanda, Italia, Inggris, dan Perancis lho. Yeah, I am so proud of being Indonesian!
😂