Dua Versi Film “Yuni”, Berikut Perbedaannya

eskapisme
5 min readJan 4, 2022

--

Film Yuni (2021) memiliki dua versi, pertama versi festival yang sempat saya tonton di Jogja-NETPAC Asian Film Fest pada awal Desember 2021. Selanjutnya juga ada versi bioskop, tayang reguler mulai Kamis (9/12) yang memiliki durasi lebih panjang sekitar 30 menit. Lantas, apa saja bedanya “Yuni” versi festival dan bioskop?

Jawaban dari perbedaan versi itu ada banyak. Poin utama adalah kesan yang didapatkan selama menyaksikan film. Ada kesan berbeda yang saya dapatkan setelah menyaksikan versi festival internasional dan bioskop.

Kesan berbeda ini didapatkan dari penambahan durasi, sehingga cerita semakin detail. Lalu, di adegan penutup juga ada perubahan pada urutan cerita.

Dalam versi festival, sorotan utamanya adalah Yuni; siapa Yuni, mimpi, dan halangan yang dialaminya. Lengkap dengan musikalisasi “Hujan Bulan Juni” yang pas menggambarkan situasi dialami Yuni. Hal ini juga diperkuat dengan cerita Yuni yang gemar dengan warna ungu.

Sedangkan dalam versi bioskop, problema Yuni sebagai anak perempuan di Banten lebih disorot. Bagaimana “doktrin”, lingkungan, dan orang-orang di sekelilingnya seperti memenjara sosok Yuni yang cerdas dan aktif.

Inti ceritanya sama. Dikisahkan Yuni yang lahir di bulan Juni adalah gadis cerdas dan aktif. Ia sebenarnya ingin melanjutkan sekolah, namun lingkungan sekelilingnya rata-rata lebih mengutamakan pernikahan selekasnya bagi perempuan.

Urusan dapur, sumur, dan kasur, terus-menerus didoktrinkan ke anak perempuan. Mau nanti rumah tangganya berhasil atau gagal itu urusan nanti. Yang penting cepat “laku” dulu.

Hingga suatu ketika, Yuni mendapatkan lamaran yang pertama ia coba tampik. Lamaran kedua, ia ragu-ragu. Ada pamali bakal susah jodoh apabila seorang gadis menolak lamaran kali kedua. Apa yang kemudian dilakukan oleh Yuni.

Ya, film ini banyak mengupas sisi kultur dan sosial kemasyarakatan di sekitaran Cilegon yang masuk Banten. Bahasa yang banyak dipakai dalam film ini adalah Jawa Serang (Jaseng), dengan kata “sire” untuk kamu dan “kite” untuk aku.

Dari sini ada mulailah spoiler-nya. Mudah-mudahan tidak banyak.

Dalam film ini banyak dikupas tentang hal-hal yang tidak menguntungkan bagi perempuan. Misalnya, tes keperawanan yang pernah digagas seorang calon bupati, kemudian “doktrin” perempuan agar tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, isu poligami, juga perempuan yang dituntut bisa melakukan banyak hal, mengasuh anak dan juga bekerja.

Isu sosial lainnya adalah tentang kebebasan bersuara dan pengrusakan alam yang mengubah lingkungan.

Nah, lantas apa perbedaan antara versi festival dan versi bioskop?

  • Dihiasi lagu-lagu yang kocak dan sesuai dengan temanya

Lagu-lagu dalam film ini umumnya lagu dangdut dan pop rock yang populer pada masa tahun 90-an. Ada lagu “Bondolan”, juga “Tua-tua Keladi” dan "Mimpi" ketika Anggun masih menggunakan nama lengkap Anggun C Sasmi.

Nah, lagu “Bondolan” ini dibawakan si nenek Yuni dan teman-temannya, sesama teman pengajian atau kasidahan. Liriknya lucu berbahasa Jawa.

Bocah wadon doyan lanang

Bocah lanang doyan wadon

pada doyane

Dikawinaken

Dalam lagu yang dipopulerkan Sarah Brillian ini, maksud wadon bondolan itu rupanya perempuan yang suka keluyuran.

Sedangkan lagu “Mimpi”-nya Anggun cocok menggambarkan harapan dari Yuni, Suci, dan kawan-kawannya. Tembang “Tua-tua Keladi” pas menyindir salah satu karakter yang muncul dalam film ini.

Dia bilang aku cantik

Dia pun bilang ku menarik

Dia bilang bodyku asik

Hingga dada ini deg-degan

Mulut lelaki katanya selalu begitu

Apalagi dia yang masih suka dengan gadis remaja

Oh iya, musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono seingat saya malah lebih banyak di versi festival daripada versi bioskop.

  • Karakter-karakter Lebih Ekspresif dan Tergali

Dalam versi bioskop, karakter Yuni yang diperankan Arawinda Kirana tidak hanya maniak ungu, tetapi juga lebih ekspresif. Ia mudah bergaul, suka bernyanyi, mandiri, dan suka mencoba sesuatu.

Si nenek yang diperankan oleh Nazla Thoyib juga ekspresif. Pandai bernyanyi, bergoyang, dan juga merokok. Tipe nenek gaul nan lincah.

Sosok Suci (Asmara Abigail) juga di sini lebih tergali. Siapakah ia, awal pertemuannya dengan Yuni juga diceritakan. Dinamika emosinya lebih terlihat.

Begitu pula dengan Ayu Laksmi yang di sini berperan sebagai penyanyi rock. Ia memberikan petuah kepada Yuni yang mempengaruhinya.

  • Hubungan yang hangat antara Yuni dan kedua orang dan neneknya

Dalam film versi bioskop, hubungan Yuni dengan kedua orang tua dan si nenek terasa lebih hangat. Yuni kerap mengobrol dengan ibunya yang diperankan Nova Eliza melalui video call.

Ayahnya (Rukman Rosadi) juga akrab dengan putrinya meski jarang bertemu. Yuni sendiri dengan neneknya suka bersikap manja dan kadang-kadang mengusilinya. Pun si nenek sayang kepadanya.

  • Obrolan kawan-kawannya

Yuni bersama kawan-kawannya, Sarah, Nisa, Tika, dan lainnya juga akrab. Obrolan mereka macam-macam hingga mengarah ke hal-hal yang dirasa tabu. Mereka berbicara tentang hubungan intim, nasib perempuan setelah menikah, dan sebagainya.

Ada adegan yang mengejutkan di versi bioskop. Hal ini dikarenakan Yuni penasaran dengan celetukan temannya.

  • Perkenalan Yuni dan orang-orang yang menaksirnya

Yuni memang cantik dan menarik. Tak heran banyak yang naksir kepadanya. Ada sosok Iman yang langsung ingin melamarnya. Di sini pertemuan antara Yuni dan pria-pria yang menyukainya lebih tergali.

Demikian pula dengan Yoga (Kevin Ardilova) yang karakternya juga lebih tereksplorasi di sini.

  • Sisi puitis

Dari sisi puitis, ada banyak puisi yang muncul, baik di film bioskop maupun versi festival. Namun, menurut saya sisi festival lebih puitis.

Di versi bioskop ada adegan menarik tentang Yuni , yakni melihat versi dirinya yang berbeda. Menurut saya, ini adegan unik dan pas menggambarkan dilema yang dihadapi si Yuni.

  • Ending yang multiinterpretasi

Bagian mengejutkan lainnya, adegan penutup “Yuni” yang berbeda. Kedua-duanya bisa multiinterpretasi. Hanya versi bioskop lebih surealis, seperti mimpi. Pas dengan lagu yang muncul di situ, yaitu “Mimpi”-nya Anggun. Di versi festival, lagu penutupnya seingat saya “Hujan Bulan Juni” yang menguatkan sisi puitisnya.

Versi festival lebih puitis dan versi bioskop lebih detail dalam menyuarakan sisi sosial kultural. Kedua-duanya sama-sama bagus. Akhir kata, film nuansa “ungu” besutan Kamila Andini ini memang patut ditonton.

Omong-omong versi mana yang digunakan untuk dikirimkan ke Oscar, ya?

--

--