Berkaca pada Diri Sendiri, Perlukah?

eskapisme
2 min readJul 29, 2019

--

sumber: dailyburn.com

Kala itu, Transjakarta rute Kampung Melayu-Kampung Rambutan pukul 10 malam seperti bus pengangkut jiwa-jiwa kosong. Bermodalkan earphone yang tersumbat, saya tidak mengindahkan deru mesin bus dan vokal keras petugas onboard tiap kali melewati halte persinggahan. Hanya fokus terhadap fragmen yang berlalu-lalang di jalan raya, melalui kaca bening di sebelah kanan tempat saya duduk. Terkadang memperhatikan bayangan diri yang buram melalui kaca tersebut, lalu terlintas kisikan yang bergema,

“Coba berkaca diri” atau “Jangan lupa berkaca pada diri sendiri”.

Bukan, itu bukanlah alai-belai milik saya, melainkan rekaman ucapan dari orang-orang di sekitar.

Kita sering mendengar ungkapan “Berkaca pada diri sendiri”. Ungkapan ini mengingatkan kita untuk melihat diri sendiri sebelum menilai atau menghakimi orang lain. Sudah layakkah kita menganggap orang lain tidak baik atau justru kita lebih buruk dari orang lain.

Tulisan-tulisan yang bersifat memotivasi sering menggunakan ungkapan seperti ini. Ungkapan agar si pembaca dapat melakukan introspeksi. Introspeksi, ya, sepertinya itu makna kiasan utama dari “berkaca”. Tapi, perlukah kita berkaca agar bisa menilai diri sendiri?

Menurut KBBI, “kaca” memiliki arti “benda yang keras, biasanya bening dan mudah pecah (untuk jendela, botol, dsb).” Dari pengertian tersebut, salah satu sifat yang dimiliki kaca adalah bening, transparan. Karenanya, coba bayangkan kamu berada di depan kaca lalu menatap ke arahnya (berkaca). Apa yang akan kamu lihat?

Bayanganmu memang akan terlihat di kaca tersebut, tapi hanya samar. Objek yang lebih jelas terlihat adalah benda (-benda) yang ada di seberang kaca. Kalau begitu, kekuatan “berkaca pada diri sendiri” menjadi sangat lemah. Karena, bayangan diri yang dipantulkan oleh kaca hanya samar. Begitu halnya, ketika kita berintrospeksi dengan berkaca pada diri sendiri, maka hanya samar diri sendiri yang terlihat.

Kaca sebenarnya memiliki berbagai jenis, salah satunya adalah cermin. Dalam kamus yang sama, “cermin” memiliki makna “kaca bening yang salah satu mukanya dicat dengan air raksa dsb sehingga dapat memperlihatkan bayangan benda yang ditaruh di depannya.” Dari pengertian tersebut, cermin lebih dapat memantulkan bayangan benda yang ada di depannya — karena salah satu sisinya telah dicat — dibanding kaca. Karenanya, mungkin ungkapan yang lebih tepat untuk mengajak orang berintrospeksi adalah “Bercermin pada diri sendiri”.

Sebenarnya, kedua kalimat tersebut sudah banyak digunakan. Hanya saja, “berkaca” jauh lebih sering digunakan dibanding “bercermin”. Coba saja Googling kalimat “bercermin pada diri sendiri” lalu “berkaca pada diri sendiri”. Saya sudah melakukannya. Hasilnya, kalimat pertama hanya menghasilkan sekitar 539 ribu, sedang kalimat kedua menghasilkan sekitar 2,7 juta. Hmmm… pantas saja banyak yang gagal berintrospeksi diri.

--

--

eskapisme
eskapisme

No responses yet